Pendidikan Karakter
Penasehat Dewan Pendidikan Jawa Timur
Proses pembelajaran
yang untuk tes dan drills kognitif pilihan-ganda bertubi-tubi,
serta formalisme kronis telah membuat sekolah kehilangan keceriaan belajar.
Target-target akademik yang sempit telah menyebabkan pembentukan karakter siswa
terbengkalai kalau bukan dihancurkan justru di sekolah. Belajar di sekolah
hampir tidak pernah lagi bermakna bagi murid. Alih-alih menjadi solusi, sekolah saat
ini adalah bagian dari masalah pendidikan.
Belajar sebagai
pembentuk karakter jujur, amanah, cerdas dan peduli sesungguhnya adalah proses
alamiah yang tidak pernah mensyaratkan formalisme persekolahan. Kehadiran ICT
juga telah mengubah praktek persekolahan
untuk selama-lamanya. Jika tidak menyesuaikan diri sekolah akan menjadi museum,
dan guru akan menjadi dinosaurus, karena
kehilangan relevansi bagi murid nettizen.
Neurosains menemukan
bahwa cara terbaik bagi warga muda untuk belajar adalah dengan bergerak di alam
bebas yang memberi tantangan fisik maupun mental. Pramuka yang dicirikan oleh
kegiatan luar-ruang memberi satu kesempatan belajar karakter terbaik bagi warga
belajar belia.
Pendahuluan
Pendidikan jelas
bukan sekedar persekolahan. Krisis pendidikan lahir saat kita gagal membedakan
keduanya. Kita membutuhkan reformulasi atas pendidikan kita yang untuk negara kepulauan
seluas Eropa dengan keragaman luar biasa ini menuntut perubahan mendasar dalam
pemahaman dan tata kelola pendidikannya agar lebih partisipatif,
desentralistis, aspiratif dan
demokratis. Diharapkan melalui pemahaman
baru dan tatakelola yang lebih peka kebutuhan warga belajar yang beragam itu
lahir kebijakan desain Sisdikbud yang lentur dan praksis pendidikan di masa
depan secara efektif mampu melahirkan warga muda Indonesia yang cakap hidup di
abad 21.
Berbagai persoalan
pendidikan, sejak gedung sekolah ambruk, guru yang menyogok agar bisa lulus
Ujian Kompetensi Awal sebelum bisa masuk program sertifikasi, keterlambatan
pencairan BOS, RSBI yang diskriminatif, kecurangan Ujian Nasional, sampai
sertifikasi guru model PLPG yang amburadul cukup banyak menyita perhatian
banyak kalangan. Lalu solusi yang dilakukan Pemerintah adalah dengan mengubah
kurikulum, menambah jam belajar, mewajibkan sekolah lebih lama menjadi 12
tahun, dan tentu saja menambah anggaran pendidikan. Ini adalah gejala schoolism
yang kronis.
Yang sebenarnya
terjadi adalah peningkatan anggaran persekolahan sementara Return on
Education Investment (RoEI) secara umum justru makin turun. Hasil
penilaian internasional seperti Trends in International Mathematics and Science
Study (TIMSS) 2011 dan Programme in International Student Assessment PISA
mutakhir menunjukkan kinerja pendidikan kita justru mundur atau mandeg
ditinggal bangsa lain. Kesimpulan studi
tersebut adalah : murid Indonesia tidak menguasai kompetensi yang penting untuk
hidup di abad 21 seperti berpikir sintetik, menyelesaikan masalah atau kreativ.
Laporan Programme in
International Reading and Literacy Study (PIRLS) 2011 juga menggambarkan
kemampuan membaca murid Indonesia tertinggal. Dengan kemampuan membaca yang
rendah ini anak-anak Indonesia akan mudah sekali digiring menjadi penonton dan
korban internet (games on-line, facebook, dan pornografi). Hanya
sebagian kecil dari kita berpikir bahwa berbagai persoalan itu muncul justru
karena pendekatan persekolahan yang berlebihan. Pendekatan persekolahan sering
mensyaratkan instrumen teknokratik yang sentralistik dan tak-peka budaya. Apa
yang terjadi di Indonesia ini tidak unik karena pernah terjadi di AS pada tahun
1960-1970-an, dan di negara-negara lain, terutama di negara miskin dan sedang
berkembang. Oleh karena inilah Ivan Illich mengusulkan suatu program "deschooling".
Sesungguhnya
kepercayaan masyarakat pada sekolah kita menurun, terutama menjelang Ujian
Nasional. Belajar di sekolah tidak lagi cukup. Anak-anak harus mengambil les
berbayar di berbagai lembaga "bimbingan belajar". Berbagai macam
pungutan juga masih terjadi walaupun sudah ada Bantuan Operasional Sekolah
(BOS). Pada sepuluh tahun terakhir muncul gerakan homeschooling. Potret
pendidikan Indonesia saat ini hampir sama dengan pendidikan di Amerika Latin
yang digambarkan oleh Ivan Illich pada tahun 1970-an melalui bukunya
Deschooling Society.
Schoolism
Pendidikan saat ini
praktis telah diartikan sebagai persekolahan dengan semua formalismenya yang
sering dibangga-banggakan. Wajib belajar diartikan sebagai wajib sekolah.
Sekolah, terutama sekolah "unggulan", bahkan yang berlabel
"Islam", berusaha keras memberi pesan dan kesan sebagai satu-satunya
tempat belajar. Sekolah-sekolah "unggulan" "bertaraf"
internasional ini kemudian menjadi semakin eksklusif dan "bertarif"
internasional. Kita perlu membandingkannya dengan Sekolah Masjid Terminal di
Jakarta dan Qaryah Thayyibah di Salatiga untuk memahami kelemahan melekat pada
pendekatan persekolahan dalam pendidikan kita menyongsong Abad 21.
Sementara itu, anak
usia sekolah dilarang bekerja karena bekerja dianggap tidak belajar. Banyak
dari kita saat ini sekolah sejak TK sampai perguruan tinggi, lalu setelah lulus
baru mencari pekerjaan. Sekolah telah menjadi industri sendiri dengan
aturan-aturannya yang kaku. Formalisme ini justru mengurangi daya serapnya
terhadap kebutuhan murid yang beragam. Murid harus menyesuaikan kurikulum yang
seragam, bukan kurikulum yang
menyesuaikan dengan kebutuhan murid yang amat beragam.
Syarat ijazah
diberlakukan untuk banyak jabatan-jabatan publik, terutama pegawai
negeri. Inilah barangkali alasan terpenting mengapa sekolah masih ada dan
dikunjungi murid : untuk mengisi lowongan pegawai. Memang sekolah-sekolah kita
tidak banyak berubah sejak masa kolonial : menyediakan pegawai bagi pemerintah
penjajahan. Tidak ada alasan lain yg lebih penting. Lihat bagaimana rekrutmen
PNS menjadi ajang sogokan. Bahkan di daerah ada layanan Bimbel agar lolos tes
PNS !
Beberapa tahun
terakhir ini kita menyaksikan sekolah menjadi bagian dari masalah, bukan bagian
dari solusi. Tidak sedikit guru mengajarkan kebohongan justru di sekolah. Sing
jujur malah ajur. Guru lebih mengharapkan jawaban yang benar dari
murid-muridnya, bukan jawaban yang jujur. Menyontek dianggap biasa. Banyak
kekerasan justru terjadi di sekolah secara fisik maupun non-fisik. Guru lebih
mudah marah bila murid datang tidak berseragam daripada jika ia tidak membawa
buku.
Sekolah hanya tempat
guru mengajar, bukan tempat murid belajar. Sekolah menjadi penjara, ruang yang
sempit bagi ekspresi multi-ranah dan multi-cerdas murid. Boleh dikatakan tidak
banyak kompetensi yang bisa dipelajari
di sekolah. Kreativiti dimatikan, penjelajahan gagasan-gagsan baru tidak
terjadi. Semakin lama bersekolah justru semakin tidak mandiri, semakin mudah
menganggur. Jumlah pengangguran sarjana meningkat tajam. Ketidakberesan
pendidikan menengah telah meningkatkan kebutuhan pendidikan tinggi.
Sekolah menjadi
bagian penting mengapa kelas menengah kita konsumtif, bukan produktif. Di
sekolah, mentalitas pegawai justru ditumbuhsuburkan oleh guru. Banyak guru
gagal menjadi teladan manusia yang berpikir bebas, dan mandiri. Desain
pendidikan kolonial masih menjadi grand design pendidikan kita. Bahkan
IKIP beberapa tahun silam malu melahirkan guru, lalu "pura-pura"
berubah jadi universitas.
Sekolah juga
berhasil mengasingkan murid dari lingkungannya. Anak-anak petani yang
pintar diberi beasiswa masuk ke fakultas pertanian. Setelah lulus mereka tidak
mau lagi jadi petani. Ini juga terjadi di masyarakat nelayan. Petani dan
nelayan kita makin menua, dan daerah semakin ditinggal pemuda-pemudanya yang
berbakat untuk bekerja di kota-kota besar, menjadi pegawai di
perusahaan-perusahaan besar domestik dan asing atau pegawai negeri.
Sekolah : Perspektif Sejarah
Dalam perspektif
evolusi kelembagaan, sekolah hanyalah kreasi kelembagaan masyarakat yang
usianya belum 150 tahun. Kita baru mengenal sekolah di akhir abad 19 atau awal
abad 20, akibat Politik Etis Belanda.
Sekolah-sekolah Belanda dirancang untuk merekrut pegawai (negeri) untuk
kepentingan penjajahan.
Sebelumya yang kita
kenal adalah pesantren sebagai sebuah sistem pendidikan yang non-formal, bahkan
informal. Mentor-mentor Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir, dsb. seperti HOS Tjokroaminoto, Hasyim Asyhari,
Ahmad Dahlan, dan Agus Salim, kebanyakan adalah otodidak yang senang membaca,
menulis, dan bicara di samping aktivis pergerakan. Dulu orang pagi bekerja atau
magang, kemudian sore atau malamnya mondok di pesantren. Dunia kerja dan
belajar tidak dipisahkan secara tegas. Belajar diniyatkan untuk meningkatkan
kualitas pekerjaan yang sedang digeluti, tidak untuk memperoleh ijazah untuk
melamar pekerjaan.
Tentu tampak agak
menggelikan untuk memecahkan banyak masalah pendidikan kita justru perlu
dimulai dengan mendefinisikan kembali apa yang dimaksud dengan pendidikan. Ini
pertama untuk menyelamatkan pendidikan dari reduksi persekolahan. Kita akan
lihat bahwa di abad internet ini untuk mendidik kita tidak perlu mensyaratkan
sekolah. Semua tempat bisa menjadi tempat belajar, semua orang bisa menjadi
guru sekaligus murid.
Ki Hadjar Dewantoro
mendefinisikan pendidikan sebagai ngerti, ngroso, nglakoni (memahami,
merasakan, melakukan). Jelas praktek pendidikan saat ini telah direduksi
menjadi sekedar ngerti. Peminggiran pendidikan seni dan olahraga, misalnya,
jelas meminggirkan ngroso. Persekolahan kita juga tidak menghargai nglakoni
(praktek dan pengalaman).
Pendidikan kita
direduksi menjadi semakin dibatasi oleh ruang kelas yang sempit dan
informasional-virtual, miskin praktek pengalaman (experiential)
luar-ruang di alam terbuka dan masyarakat. Banyak pihak menyangka dengan
menambah jam pendidikan Pancasila, murid-murid akan semakin Pancasilais. Bahkan
pendidikan semakin jauh dan kering dari berkarya dalam perspektif makership
(membuat sesuatu dengan tangan), sehingga pendidikan vokasi dianggap lebih
rendah daripada pendidikan akademik.
Lebih penting Belajar daripada Bersekolah
Konsep pokok dalam pendidikan adalah belajar dan warga negara adalah warga belajar. Ini penting agar pendidikan dipilih sebagai strategi kebudayaan, bukan sekedar instrumen pasar yang mensyaratkan centralized technocratism. Kita sering mendengar mantra learning to know, to be, to do, and to live together in peace and harmony. Praktek pendidikan kita saat ini jelas amat jauh dari mantra universal ini. Belajar dapat dipahami sebagai "proses memaknai pengalaman", sedang pengalaman adalah "dongeng tentang aku dan sekelilingku".
Untuk menkonstruksikan pengalaman, kita membutuhkan 3 konsep pokok yaitu aku, waktu, dan ruang. Tanpa “aku”, seseorang tidak bisa membangun pengalaman, ngerti dan ngroso. Kepekaan waktu dan ruang diasah dengan nglakoni. Dan tanpa praktek dan pengalaman, seseorang tidak bisa belajar. Bahkan harus segera dikatakan bahwa tujuan belajar adalah memperbaiki praktek. Proses memaknai pengalaman ini dilakukan dengan mengikuti sebuah siklus belajar "baca-praktek/alami-tulis-bicara".
Penting untuk dicatat bahwa ayat pertama Al Qur'an yang diturunkan justru "Iqra' !", bukan yang lain. Islam adalah agama yang paling dirugikan apabila masyarakatnya tidak membaca. Bahkan kitab suci ummat Islam disebut "Al Qur'an" yang berarti "the Reading".
Konstruksi pengalaman akan lengkap dengan memperkenalkan konsep keempat, yaitu “Tuhan”. Tuhan adalah esensi, sedangkan alam adalah simbol atau tanda-tanda Tuhan. Membaca, menulis, dan bicara adalah tahapan pembelajaran simbolik yang penting. Namun harus segera dicatat bahwa akhirnya tujuan belajar adalah untuk memperbaiki praktek yang memberi pengalaman multi-ranah multi-cerdas. Tradisi dibangun dan dimutakhirkan melalui siklus belajar ini.
Membaca merupakan penciri kita sebagai makhluq simbolik yang hidup tidak hanya di dunia fisik, tapi juga di dunia simbol. Kapasitas simbolik inilah yang memungkinkan kita melakukan abstraksi dan imajinasi yang dibutuhkan dalam proses kreatif, yaitu menulis atau menggambar. Menulis dengan demikian merupakan pekerjaan kreatif pertama dan utama yang penting bagi pembelajar. Sedangkan bicara adalah tahapan belajar terakhir, yaitu mengkomunikasikan pengalaman.
Segera perlu dicatat bahwa siklus belajar ini digerakkan oleh sebuah siklus lain, yaitu siklus kebenaran "cari-bukti-tegak-sebar". Artinya, praktek adalah membuktikan kebenaran, membaca adalah mencari kebenaran, menulis adalah menegakkan kebenaran, sedangkan bicara adalah menyebarkan kebenaran. Kedua siklus ini memperkuat siklus lainnya, yaitu siklus karakter "jujur-amanah-cerdas-peduli" (shiddiq-amanah-fathonah-tabligh).
Mendidik dengan demikian dapat diartikan sebagai "menumbuhkan kesetiaan pada kebenaran dan keberanian berkarya sebagai bukti dari iman". Sedangkan belajar dapat diartikan sebagai tumbuh jujur, amanah, cerdas dan peduli.
Lebih penting Belajar daripada Bersekolah
Konsep pokok dalam pendidikan adalah belajar dan warga negara adalah warga belajar. Ini penting agar pendidikan dipilih sebagai strategi kebudayaan, bukan sekedar instrumen pasar yang mensyaratkan centralized technocratism. Kita sering mendengar mantra learning to know, to be, to do, and to live together in peace and harmony. Praktek pendidikan kita saat ini jelas amat jauh dari mantra universal ini. Belajar dapat dipahami sebagai "proses memaknai pengalaman", sedang pengalaman adalah "dongeng tentang aku dan sekelilingku".
Untuk menkonstruksikan pengalaman, kita membutuhkan 3 konsep pokok yaitu aku, waktu, dan ruang. Tanpa “aku”, seseorang tidak bisa membangun pengalaman, ngerti dan ngroso. Kepekaan waktu dan ruang diasah dengan nglakoni. Dan tanpa praktek dan pengalaman, seseorang tidak bisa belajar. Bahkan harus segera dikatakan bahwa tujuan belajar adalah memperbaiki praktek. Proses memaknai pengalaman ini dilakukan dengan mengikuti sebuah siklus belajar "baca-praktek/alami-tulis-bicara".
Penting untuk dicatat bahwa ayat pertama Al Qur'an yang diturunkan justru "Iqra' !", bukan yang lain. Islam adalah agama yang paling dirugikan apabila masyarakatnya tidak membaca. Bahkan kitab suci ummat Islam disebut "Al Qur'an" yang berarti "the Reading".
Konstruksi pengalaman akan lengkap dengan memperkenalkan konsep keempat, yaitu “Tuhan”. Tuhan adalah esensi, sedangkan alam adalah simbol atau tanda-tanda Tuhan. Membaca, menulis, dan bicara adalah tahapan pembelajaran simbolik yang penting. Namun harus segera dicatat bahwa akhirnya tujuan belajar adalah untuk memperbaiki praktek yang memberi pengalaman multi-ranah multi-cerdas. Tradisi dibangun dan dimutakhirkan melalui siklus belajar ini.
Membaca merupakan penciri kita sebagai makhluq simbolik yang hidup tidak hanya di dunia fisik, tapi juga di dunia simbol. Kapasitas simbolik inilah yang memungkinkan kita melakukan abstraksi dan imajinasi yang dibutuhkan dalam proses kreatif, yaitu menulis atau menggambar. Menulis dengan demikian merupakan pekerjaan kreatif pertama dan utama yang penting bagi pembelajar. Sedangkan bicara adalah tahapan belajar terakhir, yaitu mengkomunikasikan pengalaman.
Segera perlu dicatat bahwa siklus belajar ini digerakkan oleh sebuah siklus lain, yaitu siklus kebenaran "cari-bukti-tegak-sebar". Artinya, praktek adalah membuktikan kebenaran, membaca adalah mencari kebenaran, menulis adalah menegakkan kebenaran, sedangkan bicara adalah menyebarkan kebenaran. Kedua siklus ini memperkuat siklus lainnya, yaitu siklus karakter "jujur-amanah-cerdas-peduli" (shiddiq-amanah-fathonah-tabligh).
Mendidik dengan demikian dapat diartikan sebagai "menumbuhkan kesetiaan pada kebenaran dan keberanian berkarya sebagai bukti dari iman". Sedangkan belajar dapat diartikan sebagai tumbuh jujur, amanah, cerdas dan peduli.
Untuk mengembalikan
pendidikan dari reduksionisme persekolahan,
pendidikan perlu dipahami dalam perspektif belajar ini. Belajar adalah
kegiatan yang paling spiritual dan relijius yang bisa dilakukan oleh setiap
manusia sebagai makhluq simbolik.
Guru Baru, Bukan Kurikulum Baru
Melihat potret
pendidikan kita selama paling tidak satu dekade ini, sulit untuk tidak
mengatakan bahwa pendidikan kita saat ini sesungguhnya dalam krisis. Setelah
hasil Uji Kompetesni Guru jeblog, lalu rangkaian tawuran melanda sekolah dan
kampus dengan korban tewas berjatuhan, belum lagi hasil sigi internasional yang
menempatkan kinerja pendidikan Indonesia di papan bawah, Kemendikbud
merespons dengan ide merombak kurikulum.
Wapres Boediono
kemudian membentuk tim yang bermaksud untuk memperbaiki kondisi pendidikan yang
dirasakan banyak pihak tidak menggembirakan itu. Salah satu yang banyak dikeluhkan walimurid
adalah kurikulum yang overloaded, pembelajaran yang direduksi menjadi drills
dan try-outs dengan tes-tes berformat pilihan-ganda yang dilakukan
bahkan jauh sebelum Ujian. Kemudian anak-anak ini harus les berbayar hingga
malam. Begitulah pendidikan di sekolah-sekolah sudah terdisorientasi hanya
sekedar untuk menguasai kompetensi tingkat rendah yang tidak penting bagi
kehidupan abad 21.
Sementara
pembelajaran sudah menjadi sekedar strategi untuk lulus ujian, guru semakin
mengalami krisis kepercayan dari murid-muridnya sendiri saat mereka sibuk di
berbagai lembaga "bimbingan tes". Krisis ini memperparah kenyataan
bahwa guru telah dibiarkan lama terbengkalai bertahun-tahun, dan upaya
perbaikan guru tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh. Kemudian guru kehilangan
kepercayaan dari Pemerintahnya sendiri saat kewenangan penentuan kelulusan
murid-muridnya dirampas untuk diserahkan pada mesin pemindai Ujian Nasional
yang dikoordinasikan oleh Jakarta.
Berikutnya adalah
sekolah kehilangan kepercayaan bahkan dari murid-muridnya sendiri saat mereka
harus berpaling ke lembaga-lembaga kursus untuk lulus Ujian Nasional, padahal
kebocoran soal UN terjadi di mana-mana. Saat sekolah mulai kehilangan
kepercayaan dari masyarakatnya, Kemendikbud justru merancang pembelajaran yang
semakin lama di sekolah. Dengan guru seburuk saat ini, dan sarana belajar
seterlantar saat ini, berlama-lama di sekolah justru semakin buruk bagi murid.
IKIP sudah sepuluh
tahun lebih tidak yakin lagi untuk fokus pada khittahnya mendidik calon guru
Indonesia. Kemudian IKIP berubah menjadi universitas, mengurusi
bidang-bidang non-kependidikan yang sudah diurus oleh unversitas lain yang
sudah bertahun-tahun lebih dulu menekuninya. Sebelum menjadi universitas, IKIP
dalam kondisi hidup segan mati tak mau, dan setelah menjadi unversitas
kematiannya diresmikan.
Sementara itu, di
luar kelaziman, sertifikasi guru telah berlangsung dilakukan oleh LPTK
eks-IKIP. Padahal sebagai profesi, pembinaan guru seharusnya diserahkan pada
organisasi profesi guru. Best practice nya demikian untuk
profesi-profesi lain seperti dokter, insinyur, arsitek, pengacara dan akuntan.
Sertifikasi guru harus dilakukan oleh organisasi profesi guru, bukan oleh LPTK,
apalagi Pemerintah. Untuk menjadi profesi yang terpercaya, guru harus
disertifikasi oleh lembaga yang independen dan mandiri agar guru tidak mudah
dipolitisasi dan diintimidasi oleh birokrasi dan partai politik. Organisasi
profesi guru inilah yang menetapkan kode etik guru dan menegakkan etika profesi
guru.
Dalam situasi banyak
guru yang bermental pegawai, tidak mandiri dan tidak kompeten, serta sarana
sekolah yang seadanya, pergi ke sawah membantu ayah bercocok tanam, atau
melaut mencari ikan jelas lebih berguna daripada ke sekolah. Lebih banyak yang
bisa dipelajari anak di alam terbuka daripada di ruang-ruang kelas yang sempit,
kumuh dan bocor : keberanian, kepatuhan, ketrampilan, dan kecintaan pada
lingkungan. Menghadapi guru dengan mentalitas pegawai, murid-murid itu justru
belajar menjadi penakut, sementara kreativitinya dikerdilkan. Kita membutuhkan
guru baru, bukan kurikulum baru.
Pramuka dan Deschooling
Di samping keluarga,
Pramuka sebagai gerakan pembentukan karakter adalah salah satu institusi yang
paling dirugikan oleh monopoli sekolah atas pendidikan. Kegiatan luar-ruang
yang banyak dilakukan Pramuka dinilai oleh banyak wali murid sebagai kegiatan
yang tidak mendukung capaian target-target akademik yang berkembang di sekolah.
Akibatnya kegiatan Pramuka sebagai kegiatan ekstra- kurikuler menjadi kurang
peminat.
Kebangkitan Pramuka
dalam ikut mengembangkan pendidikan karakter warga belajar akan ditentukan oleh
agenda deschooling. Deschooling
bertujuan untuk menggeser fokus pendidikan dari persekolahan formal ke
kesempatan belajar melalui jejaring belajar non-formal dan informal berbasis
masyarakat. Dalam jejaring belajar itu, simpul- simpul kegiatan Pramuka dapat
dipahami sebagai sebuah Self-Organized Learning Environment
(SOLE) yang menyediakan program belajar yang khas Pramuka.
Penutup
It takes a
village to raise a child. Dalam upaya pendidikan karakter, patut disesalkan
jika alih-alih secara konsisten menguatkan keluarga, memberdayakan
masyarakat, memberi kepercayaan pada
guru, Kemendikbud justru bermain-main dengan otak-atik kurikulum baru,
sementara kurikulum yang sebelumnya (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan -KTSP)
tidak dievaluasi secara transparan dan akuntabel. Kurikulum yang dialami
(learned curriculum) murid tidak pernah bisa lebih baik dari mutu guru
yang melaksanakannya. Tentu jelas otak-atik kurikulum jauh lebih mudah
dilakukan daripada memperbaiki mutu guru dan menjadikannya sebagai profesi yang
independen.
Kurikulum yang
terbaik bagi anak adalah kehidupan sehari-hari yang meneladankan karakter yang
baik di luar sekolah : jujur, amanah, cerdas dan peduli. Pramuka berpotensi
untuk memberi kesempatan meneladankan
karakter ini melalui kegiatan-kegiatan luar-ruangnya. Sesungguhnyalah belajar
bertujuan hanya satu : memperbaiki praktek kehidupan sehari-hari, membentuk
tradisi baru yang lebih baik. Jika belajar adalah perayaan atas kehidupan
anugerah Tuhan, maka belajar akan membentuk
budaya baru sebagai proses memaknai kehidupan.
Anak petani menjadi petani yang lebih baik dari ayahnya. Anak nelayan
menjadi nelayan yang lebih baik dari ayahnya. Perempuan muda menjadi ibu yang
lebih baik dari ibunya.
Jika kita
mengharapkan sebuah bonus demografi dalam beberapa dekade mendatang ini,
perombakan besar pada filosofi, tata kelola, kebijakan, dan program pendidikan
perlu dengan berani dilakukan. Di zaman internet ini, belajar semakin tidak
memerlukan sekolah. Yang kita perlukan adalah sebuah jejaring belajar (learning
webs) yang lentur dan luwes di mana pembelajar bisa belajar di mana saja
dan kapan saja serta dengan siapa saja sebagai bagian dari hidup berbudaya.
Pendidikan universal tidak mungkin dilakukan melalui pendekatan persekolahan
belaka. Jika guru tidak berubah, dia akan menjadi dinosaurus, negeri ini akan
menjadi Jurassic Park.
Kepustakaan
1. Illich, Ivan
"Deschooling Society". Harper and Row. 1971
2.
Mitra, Sugata."Schools in the Cloud". TED Talk, 2010.
3. Mullis, Ina
VS, Martin, M.O, Fay, Pierre, and Drucker, K. "PIRLS 2011 International
Results in Reading", Progress in International Reading Literacy Study
(PIRLS). 2012
4. Trends in
International Mathematics and Science Study (TIMSS). IEA. 2011
5. Rosyid,
D.M."Transformasi Indonesia 2050 : Time Discipline dan Pendidikan Liberal
Arts". Orasi Dies Natalis ITS 2007.
6. Rosyid,
D.M."Pendidikan di Era Reformasi : Mau Kemana? SIC. 2008.
7. Rosyid,
D.M."Jejaring Belajar". Opini Jawa Pos. Oktober 2012
8. Rosyid,
D.M."Urgensi Tata Kelola Pendidikan". Opini Jawa Pos. Oktober 2012
9. Rosyid, D.M.
"Belajar, bukan Bersekolah : Agenda Deschooling untuk Indonesia di Abad
21". ITS Press-Qbaca Telkom. 2014
Komentar
Posting Komentar