Pendidikan Karakter

Pendidikan Karakter : Antara Sekolah dan Pramuka
Oleh: Daniel Mohammad Rosyid
Penasehat Dewan Pendidikan Jawa Timur
Abstraksi
Proses pembelajaran yang  untuk tes dan drills kognitif pilihan-ganda bertubi-tubi, serta formalisme kronis telah membuat sekolah kehilangan keceriaan belajar. Target-target akademik yang sempit telah menyebabkan pembentukan karakter siswa terbengkalai kalau bukan dihancurkan justru di sekolah. Belajar di sekolah hampir tidak pernah lagi bermakna bagi murid.   Alih-alih menjadi solusi, sekolah saat ini adalah bagian dari masalah pendidikan.
Belajar sebagai pembentuk karakter jujur, amanah, cerdas dan peduli sesungguhnya adalah proses alamiah yang tidak pernah mensyaratkan formalisme persekolahan. Kehadiran ICT juga telah  mengubah praktek persekolahan untuk selama-lamanya. Jika tidak menyesuaikan diri sekolah akan menjadi museum, dan  guru akan menjadi dinosaurus, karena kehilangan relevansi bagi murid nettizen.
Neurosains menemukan bahwa cara terbaik bagi warga muda untuk belajar adalah dengan bergerak di alam bebas yang memberi tantangan fisik maupun mental. Pramuka yang dicirikan oleh kegiatan luar-ruang memberi satu kesempatan belajar karakter terbaik bagi warga belajar belia.

Pendahuluan
Pendidikan jelas bukan sekedar persekolahan. Krisis pendidikan lahir saat kita gagal membedakan keduanya.   Kita membutuhkan reformulasi atas  pendidikan kita yang untuk negara kepulauan seluas Eropa dengan keragaman luar biasa ini menuntut perubahan mendasar dalam pemahaman dan tata kelola pendidikannya agar lebih partisipatif, desentralistis,  aspiratif dan demokratis.  Diharapkan melalui pemahaman baru dan tatakelola yang lebih peka kebutuhan warga belajar yang beragam itu lahir kebijakan desain Sisdikbud yang lentur dan praksis pendidikan di masa depan secara efektif mampu melahirkan warga muda Indonesia yang cakap hidup di abad 21.
Berbagai persoalan pendidikan, sejak gedung sekolah ambruk, guru yang menyogok agar bisa lulus Ujian Kompetensi Awal sebelum bisa masuk program sertifikasi, keterlambatan pencairan BOS, RSBI yang diskriminatif, kecurangan Ujian Nasional, sampai sertifikasi guru model PLPG yang amburadul cukup banyak menyita perhatian banyak kalangan. Lalu solusi yang dilakukan Pemerintah adalah dengan mengubah kurikulum, menambah jam belajar, mewajibkan sekolah lebih lama menjadi 12 tahun, dan tentu saja menambah anggaran pendidikan. Ini adalah gejala schoolism yang kronis.
Yang sebenarnya terjadi adalah peningkatan anggaran persekolahan sementara Return on Education Investment (RoEI) secara umum justru makin turun. Hasil penilaian internasional seperti Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) 2011 dan Programme in International Student Assessment PISA mutakhir menunjukkan kinerja pendidikan kita justru mundur atau mandeg ditinggal  bangsa lain. Kesimpulan studi tersebut adalah : murid Indonesia tidak menguasai kompetensi yang penting untuk hidup di abad 21 seperti berpikir sintetik, menyelesaikan masalah atau kreativ.   
Laporan Programme in International Reading and Literacy Study (PIRLS) 2011 juga menggambarkan kemampuan membaca murid Indonesia tertinggal. Dengan kemampuan membaca yang rendah ini anak-anak Indonesia akan mudah sekali digiring menjadi penonton dan korban internet (games on-line, facebook, dan pornografi). Hanya sebagian kecil dari kita berpikir bahwa berbagai persoalan itu muncul justru karena pendekatan persekolahan yang berlebihan. Pendekatan persekolahan sering mensyaratkan instrumen teknokratik yang sentralistik dan tak-peka budaya.   Apa yang terjadi di Indonesia ini tidak unik karena pernah terjadi di AS pada tahun 1960-1970-an, dan di negara-negara lain, terutama di negara miskin dan sedang berkembang. Oleh karena inilah Ivan Illich mengusulkan suatu program "deschooling".
Sesungguhnya kepercayaan masyarakat pada sekolah kita menurun, terutama menjelang Ujian Nasional. Belajar di sekolah tidak lagi cukup. Anak-anak harus mengambil les berbayar di berbagai lembaga "bimbingan belajar". Berbagai macam pungutan juga masih terjadi walaupun sudah ada Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Pada sepuluh tahun terakhir muncul gerakan homeschooling. Potret pendidikan Indonesia saat ini hampir sama dengan pendidikan di Amerika Latin yang digambarkan oleh Ivan Illich pada tahun 1970-an melalui bukunya Deschooling Society.

Schoolism
Pendidikan saat ini praktis telah diartikan sebagai persekolahan dengan semua formalismenya yang sering dibangga-banggakan. Wajib belajar diartikan sebagai wajib sekolah. Sekolah, terutama sekolah "unggulan", bahkan yang berlabel "Islam", berusaha keras memberi pesan dan kesan sebagai satu-satunya tempat belajar. Sekolah-sekolah "unggulan" "bertaraf" internasional ini kemudian menjadi semakin eksklusif dan "bertarif" internasional. Kita perlu membandingkannya dengan Sekolah Masjid Terminal di Jakarta dan Qaryah Thayyibah di Salatiga untuk memahami kelemahan melekat pada pendekatan persekolahan dalam pendidikan kita menyongsong Abad 21. 
Sementara itu, anak usia sekolah dilarang bekerja karena bekerja dianggap tidak belajar. Banyak dari kita saat ini sekolah sejak TK sampai perguruan tinggi, lalu setelah lulus baru mencari pekerjaan. Sekolah telah menjadi industri sendiri dengan aturan-aturannya yang kaku. Formalisme ini justru mengurangi daya serapnya terhadap kebutuhan murid yang beragam. Murid harus menyesuaikan kurikulum yang seragam,  bukan kurikulum yang menyesuaikan dengan kebutuhan murid yang amat beragam. 
Syarat ijazah diberlakukan untuk banyak jabatan-jabatan publik, terutama pegawai negeri.  Inilah barangkali alasan terpenting mengapa sekolah masih ada dan dikunjungi murid : untuk mengisi lowongan pegawai. Memang sekolah-sekolah kita tidak banyak berubah sejak masa kolonial : menyediakan pegawai bagi pemerintah penjajahan. Tidak ada alasan lain yg lebih penting. Lihat bagaimana rekrutmen PNS menjadi ajang sogokan. Bahkan di daerah ada layanan Bimbel agar lolos tes PNS  !
Beberapa tahun terakhir ini kita menyaksikan sekolah menjadi bagian dari masalah, bukan bagian dari solusi. Tidak sedikit guru mengajarkan kebohongan justru di sekolah. Sing jujur malah ajur. Guru lebih mengharapkan jawaban yang benar dari murid-muridnya, bukan jawaban yang jujur. Menyontek dianggap biasa. Banyak kekerasan justru terjadi di sekolah secara fisik maupun non-fisik. Guru lebih mudah marah bila murid datang tidak berseragam daripada jika ia tidak membawa buku.
Sekolah hanya tempat guru mengajar, bukan tempat murid belajar. Sekolah menjadi penjara, ruang yang sempit bagi ekspresi multi-ranah dan multi-cerdas murid. Boleh dikatakan tidak banyak kompetensi  yang bisa dipelajari di sekolah. Kreativiti dimatikan, penjelajahan gagasan-gagsan baru tidak terjadi. Semakin lama bersekolah justru semakin tidak mandiri, semakin mudah menganggur. Jumlah pengangguran sarjana meningkat tajam. Ketidakberesan pendidikan menengah telah meningkatkan kebutuhan pendidikan tinggi.
Sekolah menjadi bagian penting mengapa kelas menengah kita konsumtif, bukan produktif. Di sekolah, mentalitas pegawai justru ditumbuhsuburkan oleh guru. Banyak guru gagal menjadi teladan manusia yang berpikir bebas, dan mandiri. Desain pendidikan kolonial masih menjadi grand design pendidikan kita. Bahkan IKIP beberapa tahun silam malu melahirkan guru, lalu "pura-pura" berubah jadi universitas.
Sekolah juga berhasil  mengasingkan murid dari lingkungannya. Anak-anak petani yang pintar diberi beasiswa masuk ke fakultas pertanian. Setelah lulus mereka tidak mau lagi jadi petani. Ini juga terjadi di masyarakat nelayan. Petani dan nelayan kita makin menua, dan daerah semakin ditinggal pemuda-pemudanya yang berbakat untuk bekerja di kota-kota besar, menjadi pegawai di perusahaan-perusahaan besar domestik dan asing atau pegawai negeri.

Sekolah : Perspektif Sejarah
Dalam perspektif evolusi kelembagaan, sekolah hanyalah kreasi kelembagaan masyarakat yang usianya belum 150 tahun. Kita baru mengenal sekolah di akhir abad 19 atau awal abad 20,  akibat Politik Etis Belanda. Sekolah-sekolah Belanda dirancang untuk merekrut pegawai (negeri) untuk kepentingan penjajahan.
Sebelumya yang kita kenal adalah pesantren sebagai sebuah sistem pendidikan yang non-formal, bahkan informal. Mentor-mentor Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir, dsb.  seperti HOS Tjokroaminoto, Hasyim Asyhari, Ahmad Dahlan, dan Agus Salim, kebanyakan adalah otodidak yang senang membaca, menulis, dan bicara di samping aktivis pergerakan. Dulu orang pagi bekerja atau magang, kemudian sore atau malamnya mondok di pesantren. Dunia kerja dan belajar tidak dipisahkan secara tegas. Belajar diniyatkan untuk meningkatkan kualitas pekerjaan yang sedang digeluti, tidak untuk memperoleh ijazah untuk melamar pekerjaan.
Tentu tampak agak menggelikan untuk memecahkan banyak masalah pendidikan kita justru perlu dimulai dengan mendefinisikan kembali apa yang dimaksud dengan pendidikan. Ini pertama untuk menyelamatkan pendidikan dari reduksi persekolahan. Kita akan lihat bahwa di abad internet ini untuk mendidik kita tidak perlu mensyaratkan sekolah. Semua tempat bisa menjadi tempat belajar, semua orang bisa menjadi guru sekaligus murid.
Ki Hadjar Dewantoro mendefinisikan pendidikan sebagai ngerti, ngroso, nglakoni (memahami, merasakan, melakukan). Jelas praktek pendidikan saat ini telah direduksi menjadi sekedar ngerti. Peminggiran pendidikan seni dan olahraga, misalnya, jelas meminggirkan ngroso. Persekolahan kita juga tidak menghargai nglakoni (praktek dan pengalaman).
Pendidikan kita direduksi menjadi semakin dibatasi oleh ruang kelas yang sempit dan informasional-virtual, miskin praktek pengalaman (experiential) luar-ruang di alam terbuka dan masyarakat. Banyak pihak menyangka dengan menambah jam pendidikan Pancasila, murid-murid akan semakin Pancasilais. Bahkan pendidikan semakin jauh dan kering dari berkarya dalam perspektif makership (membuat sesuatu dengan tangan), sehingga pendidikan vokasi dianggap lebih rendah daripada pendidikan akademik.

Lebih penting Belajar daripada Bersekolah
Konsep pokok dalam pendidikan adalah belajar dan warga negara adalah warga belajar. Ini penting agar pendidikan dipilih sebagai strategi kebudayaan, bukan sekedar instrumen pasar yang mensyaratkan centralized technocratism.   Kita sering mendengar mantra learning to know, to be, to do, and to live together in peace and harmony. Praktek pendidikan kita saat ini jelas amat jauh dari mantra universal ini. Belajar dapat dipahami sebagai "proses memaknai pengalaman", sedang pengalaman adalah "dongeng tentang aku dan sekelilingku".
Untuk menkonstruksikan pengalaman, kita membutuhkan 3 konsep pokok yaitu aku, waktu, dan ruang. Tanpa “aku”, seseorang tidak bisa membangun pengalaman, ngerti dan ngroso. Kepekaan waktu dan ruang diasah dengan nglakoni. Dan tanpa praktek dan pengalaman, seseorang tidak bisa belajar. Bahkan harus segera dikatakan bahwa tujuan belajar adalah memperbaiki praktek. Proses memaknai pengalaman ini dilakukan dengan mengikuti sebuah siklus belajar "baca-praktek/alami-tulis-bicara".
Penting untuk dicatat bahwa ayat pertama Al Qur'an yang diturunkan justru "Iqra' !", bukan yang lain. Islam adalah agama yang paling dirugikan apabila masyarakatnya tidak membaca. Bahkan kitab suci ummat Islam disebut "Al Qur'an" yang berarti "the Reading".
Konstruksi pengalaman akan lengkap dengan memperkenalkan konsep keempat, yaitu “Tuhan”. Tuhan adalah esensi, sedangkan alam adalah simbol atau tanda-tanda Tuhan.   Membaca, menulis, dan bicara adalah tahapan pembelajaran simbolik yang penting. Namun harus segera dicatat bahwa akhirnya tujuan belajar adalah untuk memperbaiki praktek yang memberi pengalaman multi-ranah multi-cerdas. Tradisi dibangun dan dimutakhirkan melalui siklus belajar ini.
Membaca merupakan penciri kita sebagai makhluq simbolik yang hidup tidak hanya di dunia fisik, tapi juga di dunia simbol. Kapasitas simbolik inilah yang memungkinkan kita melakukan abstraksi dan imajinasi yang dibutuhkan dalam proses kreatif, yaitu menulis atau menggambar. Menulis dengan demikian merupakan pekerjaan kreatif pertama dan utama yang penting bagi pembelajar. Sedangkan bicara adalah tahapan belajar terakhir, yaitu mengkomunikasikan pengalaman.
Segera perlu dicatat bahwa siklus belajar ini digerakkan oleh sebuah siklus lain, yaitu siklus kebenaran "cari-bukti-tegak-sebar". Artinya, praktek adalah membuktikan kebenaran, membaca adalah mencari kebenaran, menulis adalah menegakkan kebenaran, sedangkan bicara adalah menyebarkan kebenaran.  Kedua siklus ini memperkuat siklus lainnya, yaitu siklus karakter "jujur-amanah-cerdas-peduli" (shiddiq-amanah-fathonah-tabligh).
Mendidik dengan demikian dapat diartikan sebagai "menumbuhkan kesetiaan pada kebenaran dan keberanian berkarya sebagai bukti dari iman". Sedangkan belajar dapat diartikan sebagai tumbuh jujur, amanah, cerdas dan peduli.
Untuk mengembalikan pendidikan dari reduksionisme persekolahan,  pendidikan perlu dipahami dalam perspektif belajar ini. Belajar adalah kegiatan yang paling spiritual dan relijius yang bisa dilakukan oleh setiap manusia sebagai makhluq simbolik.

Guru Baru, Bukan Kurikulum Baru
Melihat potret pendidikan kita selama paling tidak satu dekade ini, sulit untuk tidak mengatakan bahwa pendidikan kita saat ini sesungguhnya dalam krisis. Setelah hasil Uji Kompetesni Guru jeblog, lalu rangkaian tawuran melanda sekolah dan kampus dengan korban tewas berjatuhan, belum lagi hasil sigi internasional yang menempatkan kinerja pendidikan Indonesia di papan bawah,  Kemendikbud merespons dengan ide  merombak kurikulum.
Wapres Boediono kemudian membentuk tim yang bermaksud untuk memperbaiki kondisi pendidikan yang dirasakan banyak pihak tidak menggembirakan itu.  Salah satu yang banyak dikeluhkan walimurid adalah kurikulum yang overloaded, pembelajaran yang direduksi menjadi drills dan try-outs dengan tes-tes berformat pilihan-ganda yang dilakukan bahkan jauh sebelum Ujian. Kemudian anak-anak ini harus les berbayar hingga malam. Begitulah pendidikan di sekolah-sekolah sudah terdisorientasi hanya sekedar untuk menguasai kompetensi tingkat rendah yang tidak penting bagi kehidupan abad 21.
Sementara pembelajaran sudah menjadi sekedar strategi untuk lulus ujian, guru semakin mengalami krisis kepercayan dari murid-muridnya sendiri saat mereka sibuk di berbagai lembaga "bimbingan tes". Krisis ini memperparah kenyataan bahwa guru telah dibiarkan lama terbengkalai bertahun-tahun, dan upaya perbaikan guru tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh. Kemudian guru kehilangan kepercayaan dari Pemerintahnya sendiri saat kewenangan penentuan kelulusan murid-muridnya dirampas untuk diserahkan pada mesin pemindai Ujian Nasional yang dikoordinasikan oleh Jakarta.
Berikutnya adalah sekolah kehilangan kepercayaan bahkan dari murid-muridnya sendiri saat mereka harus berpaling ke lembaga-lembaga kursus untuk lulus Ujian Nasional, padahal kebocoran soal UN terjadi di mana-mana. Saat sekolah mulai kehilangan kepercayaan dari masyarakatnya, Kemendikbud justru merancang pembelajaran yang semakin lama di sekolah. Dengan guru seburuk saat ini, dan sarana belajar seterlantar saat ini, berlama-lama di sekolah justru semakin buruk bagi murid.
IKIP sudah sepuluh tahun lebih tidak yakin lagi untuk fokus pada khittahnya mendidik calon guru Indonesia.  Kemudian IKIP berubah menjadi universitas, mengurusi bidang-bidang non-kependidikan yang sudah diurus oleh unversitas lain yang sudah bertahun-tahun lebih dulu menekuninya. Sebelum menjadi universitas, IKIP dalam kondisi hidup segan mati tak mau, dan setelah menjadi unversitas kematiannya diresmikan.
Sementara itu, di luar kelaziman, sertifikasi guru telah berlangsung dilakukan oleh LPTK eks-IKIP. Padahal sebagai profesi, pembinaan guru seharusnya diserahkan pada organisasi profesi guru. Best practice nya demikian untuk profesi-profesi lain seperti dokter, insinyur, arsitek, pengacara dan akuntan. Sertifikasi guru harus dilakukan oleh organisasi profesi guru, bukan oleh LPTK, apalagi Pemerintah. Untuk menjadi profesi yang terpercaya, guru harus disertifikasi oleh lembaga yang independen dan mandiri agar guru tidak mudah dipolitisasi dan diintimidasi oleh birokrasi dan partai politik. Organisasi profesi guru inilah yang menetapkan kode etik guru dan menegakkan etika profesi guru.
Dalam situasi banyak guru yang bermental pegawai, tidak mandiri dan tidak kompeten, serta sarana sekolah yang seadanya, pergi ke sawah membantu ayah bercocok tanam, atau  melaut mencari ikan jelas lebih berguna daripada ke sekolah. Lebih banyak yang bisa dipelajari anak di alam terbuka daripada di ruang-ruang kelas yang sempit, kumuh dan bocor : keberanian, kepatuhan, ketrampilan, dan kecintaan pada lingkungan. Menghadapi guru dengan mentalitas pegawai, murid-murid itu justru belajar menjadi penakut, sementara kreativitinya dikerdilkan. Kita membutuhkan guru baru, bukan kurikulum baru.

Pramuka dan Deschooling
Di samping keluarga, Pramuka sebagai gerakan pembentukan karakter adalah salah satu institusi yang paling dirugikan oleh monopoli sekolah atas pendidikan. Kegiatan luar-ruang yang banyak dilakukan Pramuka dinilai oleh banyak wali murid sebagai kegiatan yang tidak mendukung capaian target-target akademik yang berkembang di sekolah. Akibatnya kegiatan Pramuka sebagai kegiatan ekstra- kurikuler menjadi kurang peminat.
Kebangkitan Pramuka dalam ikut mengembangkan pendidikan karakter warga belajar akan ditentukan oleh agenda deschooling.  Deschooling bertujuan untuk menggeser fokus pendidikan dari persekolahan formal ke kesempatan belajar melalui jejaring belajar non-formal dan informal berbasis masyarakat. Dalam jejaring belajar itu, simpul- simpul kegiatan Pramuka dapat dipahami sebagai sebuah Self-Organized Learning Environment (SOLE) yang menyediakan program belajar yang khas Pramuka. 

Penutup
It takes a village to raise a child. Dalam upaya pendidikan karakter, patut disesalkan jika alih-alih secara konsisten menguatkan keluarga, memberdayakan masyarakat,  memberi kepercayaan pada guru, Kemendikbud justru bermain-main dengan otak-atik kurikulum baru, sementara kurikulum yang sebelumnya (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan -KTSP) tidak dievaluasi secara transparan dan  akuntabel. Kurikulum yang dialami (learned curriculum) murid tidak pernah bisa lebih baik dari mutu guru yang melaksanakannya. Tentu jelas otak-atik kurikulum jauh lebih mudah dilakukan daripada memperbaiki mutu guru dan menjadikannya sebagai profesi yang independen.
Kurikulum yang terbaik bagi anak adalah kehidupan sehari-hari yang meneladankan karakter yang baik di luar sekolah : jujur, amanah, cerdas dan peduli. Pramuka berpotensi untuk  memberi kesempatan meneladankan karakter ini melalui kegiatan-kegiatan luar-ruangnya. Sesungguhnyalah belajar bertujuan hanya satu : memperbaiki praktek kehidupan sehari-hari, membentuk tradisi baru yang lebih baik. Jika belajar adalah perayaan atas kehidupan anugerah Tuhan,  maka belajar akan membentuk budaya baru sebagai proses memaknai kehidupan.  Anak petani menjadi petani yang lebih baik dari ayahnya. Anak nelayan menjadi nelayan yang lebih baik dari ayahnya. Perempuan muda menjadi ibu yang lebih baik dari ibunya.
Jika kita mengharapkan sebuah bonus demografi dalam beberapa dekade mendatang ini, perombakan besar pada filosofi, tata kelola, kebijakan, dan program pendidikan perlu dengan berani dilakukan. Di zaman internet ini, belajar semakin tidak memerlukan sekolah. Yang kita perlukan adalah sebuah jejaring belajar (learning webs) yang lentur dan luwes di mana pembelajar bisa belajar di mana saja dan kapan saja serta dengan siapa saja sebagai bagian dari hidup berbudaya. Pendidikan universal tidak mungkin dilakukan melalui pendekatan persekolahan belaka. Jika guru tidak berubah, dia akan menjadi dinosaurus, negeri ini akan menjadi Jurassic Park.

Kepustakaan
1. Illich, Ivan "Deschooling Society". Harper and Row. 1971
2. Mitra, Sugata."Schools in the Cloud". TED Talk, 2010.
3. Mullis, Ina VS, Martin, M.O, Fay, Pierre, and Drucker, K. "PIRLS 2011 International Results in Reading", Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS). 2012
4. Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS). IEA. 2011
5. Rosyid, D.M."Transformasi Indonesia 2050 : Time Discipline dan Pendidikan Liberal Arts". Orasi Dies Natalis ITS 2007.
6. Rosyid, D.M."Pendidikan di Era Reformasi : Mau Kemana?  SIC. 2008.
7. Rosyid, D.M."Jejaring Belajar". Opini Jawa Pos. Oktober 2012
8. Rosyid, D.M."Urgensi Tata Kelola Pendidikan". Opini Jawa Pos. Oktober 2012
9. Rosyid, D.M. "Belajar, bukan Bersekolah : Agenda Deschooling untuk Indonesia di Abad 21". ITS Press-Qbaca Telkom. 2014



Komentar

Postingan Populer