HUJAN (Cerpen)
Tidak seperti
cowok lain pada umumnya yang
menggunakan susunan bunga dan rangkaian puisi, ketika mengungkapkan perasaannya.
Enda, hanya bermodalkan gitar tua dan suaranya yang pas-pasan. Lagu Club 80’s
“Dari Hati” dilantunkan Enda di taman sekolah, tepatnya di hadapan Seilla.
“Maukah kau menjadi pilihanku untuk
memberi keramaian dalam kekosongan hidupku?” ucap Enda usai melantunkan lagu
pilihannya.
“Aku tak mau sekedar mengisi kekosongan, tetapi aku ingin selalu melekat dan memberi warna dalam hidupmu.” Kalimat itulah yang terucap dari mulut Seilla. Di raih tangan kanan Seilla dan diciumnya punggung tangan itu yang membuat siswa disekitarnya semakin bersorak heboh.
Dengan cepatnya waktu berjalan, tujuh
bulan pun berlalu. Selama itu pula hubungan Enda dan Seilla tak tergoyahkan.
Suatu saat dihari Minggu, siang hari, Enda berada dirumah Seilla. Seilla
meminta Enda menemaninya saat keluarganya pergi ke rumah sakit untuk menjenguk
saudaranya yang sakit.
Perlahana namun pasti, langit mulai
mendung. Hujanpun turun dengan lebatnya. Seilla dan Enda duduk di kursi panjang
yang terletak di teras rumah. Mereka memandang lebatnya hujan dan menikmati
percikan air ketika angin menghembusnya.
“Seilla,,, tau nggak?” Tanya Enda sambil
menoleh wajah kekasihnya.
“Tau apa?”
“Cintaku padamu sebanyak butiran air
hujan yang turun dari langit” ucapan Enda yang beraromakan syair lagu romantis dari
band ternama.
“Hmmm,,, Jika cintamu seperti hujan, aku
ingin menjadi bumi..”
“Lho,, kenapa?” Tanya Enda penasaran.
“Biar aku selalu mendapatkan cintamu,
bagai hujan yang mengguyur bumi. Agar aku bisa menampung cintamu tanpa
melewatkan sedikitpun.” Kini Seilla membalasnya dengan kalimat novel yang
pernah ia baca.
#
Keesokan harinya, Enda mencari Seilla
yang tidak terlihat di kelasnya. Dia bertanya pada teman-teman Seilla, tetapi
tak ada satupun yang mengetahui keberadaan Seilla. Ditelponnya HP Seilla, tetapi
suara operator yang terdengar. Sepulang sekolah, Enda pergi menuju rumah
Seilla. Tak ada satu jawabanpun ketika ia mengetuk pintu dan menekan bel yang
ada di sebelah kiri pintu utama.
Hari ini tepat 5 hari menghilangnya
Seilla beserta keluarganya. Semakin hari sifat Enda semakin berubah.
Keceriaannya mulai mengikis, senyum pun hanya sedikit terlintas dari garis
lesung pipinya. Senja mulai menipis, dibaringkannya tubuh di tempat tidur. Enda
mengambil ponselnya, membaca satu pesan yang baru masuk. Matanya terbelalak,
pesan itu dari Seilla, “saat nanti aku jauh darimu, hujan akan turun dan
mengisahkan cerita kita yang terukir dalam suatu lembar kenangan. Hujanlah yang
menjadi saksi ingatan lalu. Dan hujan akan setia mendengar kisah suka
seseorang, kini maupun nanti,,,, selamanya,,,”. Setelah selesai membaca pesan
itu, cepat-cepat ia langsung menghubungi Seilla.
“Sial...!!!!” keluh Enda ketika gagal menghubungi kekasihnya. Dia tak menyerah, berkali-kali ia menghubungi Seilla. Namun usahanya itu tak berarti. Hingga ia berteriak sekencang-kencangnya, berharap kesal dalam hati bisa musnah seketika itu juga. Lelah, yang mengiringinya menuju kedalam bunga tidur.
Dinginnya pagi telah datang menyelimuti.
Jam dinding tua itu berdetak 11 kali. Enda masih bercengkrama dengan mimpinya,
yang kemudian dibangunkan dengan suara ponsel yang berada disampingnya.
“Hallo, siapa ya?” suara Enda
mengisyaratkan bahwa dirinya baru saja terbangun.
“Nak
Enda, ini mamanya Seilla, kamu bisa kesini? Di Rumah Sakit Bakti Husada lantai
2 kamar nomor 21. Tolong se...” Suara ibu yang seakan menahan tangis terputus.
Cepat-cepat ia mengambil kunci motor lalu dipacunya motor itu dengan kecepatan
tinggi menuju RS Bakti Husada. Di ingat-ingatnya lantai 2 kamar nomor 21
sepanjang perjalanan. Di depan ruangan yang ia tuju, terlihat 2 orang tua yang
duduk dengan muka kusut.
“Bagaimana keadaan Seilla Om? Seilla
sakit apa? tanya Enda setibanya di depan pintu kamar nomor 21 kepada ayah
Seilla.
“Nak Enda,,, se,,,,, sebenarnya,,, Se,,,
Seilla mengidap penyakit Leukimia yang sudah lama di deritanya.” Ucap ayah
Seilla dengan nafas yang tertahan.
“Boleh sekarang saya melihatnya di dalam
Om?” Seakan Enda tak percaya sebuah penyakit ganas ini bersarang ditubuh
kekasih hatinya. Ingin segera ia memasuki kamar itu lalu memeluk sang kekasih
yang terbaring lemah tak berdaya.
“Terlambat Nak,,, Sang Kuasa telah
menetapkan takdir, dan mungkin ini yang terbaik bagi kita..” Air mata yang
terbendung kini tak dapat tertahankan lagi di mata ayah Seilla. Di dekapnya
sang istri dengan wajah pucat pasi, merelakan kepergian buah hati satu-satunya.
Enda masih berdiri, berusaha bertahan menghadapi cobaan ini. Hatinya seolah
ditusuk samurai yang baru saja diasah. Mata Enda memerah, dirasakan sangat
sulit menghirup udara. “Brukk!” Enda jatuh pinsan.
#
Proses pemakaman telah usai, rekan-rekan
dan keluarga meninggalkan tempat peristirahatan terakhir raga Seilla. Tetapi
Enda masih menatap bunga yang disebarkan. Bukan itu maksudnya, seolah menatap
gundukan tanah lalu mengingat kenangan yang pernah ia alami bersama sosok
wanita yang dulu mengisi kekosongan hatinya.
Rintikan hujan mulai terdengar. Perlahan
Enda meninggalkan tempat itu, semakin jauh dan jauh. Enda tak ingin menoleh,
tak ingin mengeluarkan sepatah katapun. Karena dengan cara itulah dia bisa
menyembunyikan air matanya, yang kemudian menyatu bersama hujan.
Cerpen yang bagus. Tulis yang banyak lagi kemudia di bukukan bersama karya Nidaul Khusna dan yang lainnya. jadikan antologi cerpen Naga Sandhi.
BalasHapusSiap kakak.
Hapus